Minggu, 18 Oktober 2015

Perbedaan Hadyu, Dam Dan Fidyah Terkait Ibadah Haji Dan Umrah

        Lubang Warak - Banyak yang salah memahami dalam mengartikan istilah-istilah untuk hewan sembelihan dalam kaitannya dengan ibadah haji dan umrah, khususnya hadyu, dam atau sebagai bentuk fidyah. Secara gamblang dam adalah istilah umum untuk hewan yang disembelih terkait dengan ibadah haji atau umrah, baik karena murni semata-mata bagian dari ibadah, maupun karena adanya pelanggaran yang dilakukan. Hadyu adalah istilah atau nama khusus bagi dam yang berlaku atas mereka yang sedang melaksanakan ibadah haji tamattu atau qiran, kecuali bagi mereka yang berasal dari penduduk kota Makkah (Q.S. Al Baqarah: 196), dan disembelih pada waktu tertentu dan di tempat tertentu yang telah ditentukan dalam syari’at. Sedangkan sebagai bentuk fidyah, dam merupakan salah satu dari tiga pilihan yang tersedia bagi orang yang melanggar larangan-larangan ihram tertentu antara lain larangan mencukur atau mencabut rambut di tubuh, memotong kuku, memakai pakaian yang memiliki jahitan, memakai wewangian, atau menutup kepala bagi laki-laki. Ada orang yang secara sederhana mengartikan dam adalah denda.
Pemahaman ini tidak seluruhnya benar, namun juga tidak seluruhnya salah karena sebagaimana akan dijelaskan pada alinea-alinea berikut, dam bisa dimaknai sebagai denda namun pada kasus tertentu dam bisa juga semata-mata bersifat ibadah murni.

Sebagaimana diterangkan di atas bahwa dam adalah sebuah istilah umum, maka secara garis besar dam bisa dibagi atas dua kategori: 1- Dam tamattu’ atau qiran, 2- Dam karena melanggar larangan ihram tertentu atau meninggalkan perbuatan-perbuatan wajib dalam ibadah haji sebagaimana akan dijelaskan lebih rinci berikut ini.

I. Dam Tamattu’ atau Qiran
Dam dalam bentuk ini lebih dikenal dengan istilah ’hadyu’. Ada beberapa ketentuan terkait dengan hewan dam kategori ini, yaitu:

a. Hadyu hukumnya wajib bagi mereka yang melakukan haji tamattu’ atau qiran kecuali bagi para penduduk Makkah (QS. Al-Baqarah: 196). Yang perlu digarisbahwahi dalam hal ini bahwa hal ini sifatnya semata-mata ibadah murni, bukan karena haji tamattu’ dan qiran dianggap sebagai pelanggaran atau memiliki kekurangan. Justru pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa haji tamattu’ adalah bentuk haji yang paling utama di antara tiga jenis ibadah haji yang ada.

b. Dam harus berwujud kambing atau sepertujuh sapi atau onta. Syarat-syarat yang dibutuhkan untuk hewan dam sama dengan hewan sembelihan qurban (udhiyah), seperti kesehatannya, usianya serta bebas dari cacat. Dagingnya diberikan kepada fakir miskin dan sebagiannya boleh dimakan.

c. Waktu penyembelihannya pun sama dengan waktu untuk penyembelihan hewan qurban (udhiyah), yaitu selama empat hari qurban; yakni satu hari raya Idul Adha ditambah tiga hari Tasyrik; sejak 10 Dzulhijjah hingga matahari terbenam pada 13 Dzulhijjah.

d. Tempat penyembelihannya harus dalam batas Tanah Haram di Makkah. Jangan Anda merasa telah membayar dam tamattu’ atau qiran hanya karena Anda telah berqurban di kampung halaman Anda.

e. Jika Anda menyerahkan uang kepada seseorang atau pihak tertentu untuk keperluan dam tamattu’ atau qiran, itu artinya Anda melakukan wakalah (mewakilkan). Maka dalam hal ini ukurannya bukan sekedar Anda telah memberikan uang dan kapan memberinya, tetapi kapan hewan hadyu itu disembelih, apakah syarat-syarat fisik hewan itu telah terpenuhi serta di manakah penyembelihannya? Meskipun Anda memberikan uang tersebut sebelum tanggal yang ditentukan, tidaklah mengapa asalkan Anda percaya bahwa hewannya disembelih pada tanggal dan tempat yang telah ditentukan dan telah memenuhi syarat-syarat fisik hewan hadyu. Sebaliknya, walaupun Anda memberikan uang pada waktu yang telah ditentukan, tetapi jika hewan tersebut tidak disembelih pada waktunya, atau cacat fisiknya atau disembelih di luar Tanah Haram, maka hal tersebut tidaklah sah. Dalam hal ini tingkat kepercayaan Anda kepada pihak yang Anda wakilkan sangatlah penting. Mintalah kepastian kapan hewan itu disembelih, jika Anda merasa tenang bahwa hewan itu akan disembelih pada waktunya oleh orang yang Anda wakilkan, maka peganglah hal tersebut. Tetapi jika pihak tersebut meragukan Anda, beralihlah kepada pihak yang lebih Anda percaya. Sebab sudah sering terjadi adanya pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari keluguan jama’ah haji, mengumpulkan uang dam dengan harga pasaran pada hari-hari qurban, lalu mereka menghubungi peternak kambing untuk memesan sejumlah hewan dam tamattu’, namun dengan kesepakatan bahwa penyembelihannya dilakukan jauh setelah musim haji selesai atau sebelum waktu yang dibolehkan, dengan tujuan untuk mendapatkan harga yang sangat murah dan tentu saja untuk mendapatban keuntungan yang sebesar-besarnya.

f. Berdasarkan nash dalam Al-Quran, dam bukan satu-satunya cara yang dituntut syari’at bagi orang yang berhaji tamattu’ atau qiran. Jika seseorang tidak mampu biayanya untuk membeli dan menyembelih hewan dam, maka ia boleh berpuasa selama sepuluh hari, tiga hari di Makkah dan tujuh hari di kampung halamannya. Namun -sekali lagi- hal ini baru boleh dilakukan jika seseorang tidak mampu membeli hewan dam pada hari-hari qurban. Berarti, kalau ia mampu membelinya, maka ia tidak boleh beralih kepada pilihan puasa tersebut (QS. Al-Baqarah: 196). Puasa tiga hari dimaksud, boleh dilakukan selama jama’ah haji berada di Tanah Haram pada musim haji, termasub selama hari-hari Tasyrib, namun tidak ketika hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah).

II. Dam Karena Melanggar Larangan Ihram Tertentu atau Meninggalkan Amalan Wajib dalam Haji
Dam dalam kategori ini dikenal juga dengan istilah dam jubran yang secara bahasa artinya ’tambalan’. Karena dam dalam bentuk ini berfungsi sebagai penambal atau denda atas pelanggaran yang dilakukan atau kewajiban yang ditinggalkan. Karena itu, pembahasan dam dalam kategori ini dapat dibagi lebih lanjut menjadi dua macam:

A. Dam karena melanggar larangan ihram tertentu
Ada beberapa ketentuan yang terkait dalam masalah ini, di antaranya:

1. Dam dalam masalah ini lebih dikenal dalam syari’at sebagai salah satu bentuk fidyah. Maka dalam masalah ini, dam bukan cara satu-satunya pilihan yang harus dilakukan jika seseorang melakukan pelanggaran dalam beberapa larangan ihram. Selain dam, dia dapat memilih antara puasa tiga hari atau memberi makan enam orang miskin di Makkah. Ketiga hal ini sifatnya memilih, tidak harus berurutan sebagaimana dam hadyu bagi yang berhaji tamattu’ atau qiran (Perhatikan surat Al-Baqarah: 196)

2. Hanya larangan ihram tertentu saja yang jika dilanggar terkena kewajiban fidyah, yaitu: mencukur atau mencabut rambut di tubuh, memotong kuku, memakai pakaian yang memiliki jahitan, mengenakan wewangian, menutup kepala bagi orang laki. Sedang untuk larangan bercumbu, berjima’, meminang, menikah atau menikahkan, dan larangan membunuh binatang buruan maka dalam hal ini ada hukumnya tersendiri yang tidak termasuk dalam pembahasan ini. Hukumnyapun berlaku jika pelanggarannya dilakukan dengan sengaja dan sudah tahu ilmunya. Adapun jika dilakukan tanpa sengaja, atau karena belum tahu ilmunya atau karena terpaksa, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya, selain segera meninggalkan pelanggaran tersebut saat itu juga jika telah mengetahui atau tersadar.

3. Jika seseorang memilih dam untuk fidyahnya, maka ada beberapa batasan terkait hewan damnya, yaitu:
-Hewan damnya berupa seekor kambing.
-Syarat-syarat fisik hewannya sama dengan hewan qurban biasa.
-Penyembelihannya harus dilakukan di dalam batas Tanah Haram.
-Waktu penyembelihannya tidak terbatas, bisa kapan saja, bahkan seandainya ia telah pulang ke kampung halamannya sekalipun. Yang penting adalah dilakukan dalam batas Tanah Haram, namun jika lebih cepat dilakukan akan lebih baik.
-Seluruh dagingnya diberikan kepada fakir miskin, tidak boleh dimakan oleh yang memberikan fidyah.

4. Jika seseorang memilih puasa sebagai fidyahnya, maka ia harus berpuasa selama tiga hari, kapan saja dan di mana saja.

5. Jika berkali-kali melakukan pelanggaran, maka fidyah yang diwajibkan disesuaikan dengan jumlah pelanggaran yang dilakukan, namun jika jenis pelanggarannya sama, maka fidyahnya hanya dihitung sekali.

B. Dam karena meninggalkan salah satu amalan wajib dalam ibadah haji
Amalan yang wajib dikerjakan dalam haji adalah ihram dari miqat (ihram merupakan rukun haji, namun mengawalinya dari miqat adalah wajib haji, sehingga orang yang ihramnya diawali setelah melewati miqat tetap dikatakan sah, namun dia meninggalkan wajib haji, oleh karenanya ia terkena kewajiban dam), keberadaan di Arafah pada tanggal sembilan Dzulhijjah hingga terbenam matahari (wuquf di Arafah adalah rukun haji meskipun hanya sejam atau beberapa jam berada di Arafah lalu meninggalkan Arafah sebelum waktu Maghrib, namun jika hal itu dilakukan, maka ia telah meninggalkan perbuatan wajib dalam haji karena keberadaannya pada hari Arafah di Arafah hingga terbenam matahari hukumnya wajib), mabit di Muzdalifah kecuali bagi orang lemah atau sakit, melontar jumrah, menggundulkan atau memendekkan rambut, mabit di Mina pada malam hari-hari Tasyrik, dan thawaf wada’ kecuali bagi perempuan yang sedang haid atau nifas.

1. Dam dalam hal ini berupa menyembelih seekor kambing atau sepertujuh sapi atau onta. Jika seseorang tidak mampu melakukannya, maka sebagai gantinya dia harus berpuasa selama sepuluh hari, terdiri atas tiga hari pada musim haji di Tanah haram, dan tujuh hari sisanya ketika sudah di kampung halamannya.

2. Terkait ketentuan dan syarat hewan dam, kapan dan di mana penyembelihannya, sama dengan ketentuan dan syarat yang berlaku pada hewan untuk fidyah yang diwajibkan karena meninggalban larangan ihram tertentu, sebagaimana penjelasan di atas.

3. Jumlah dam yang dikeluarban disesuaikan dengan jumlah kewajiban yang ditinggalkan, kecuali jika kewajibannya dari jenis yang sama, maka damnya hanya dihitung sekali.

Demikianlah penjelasan singkat tentang tentang istilah dam, semoga dapat menambah pemahaman kita terkait ibadah haji dan umrah. Kepada yang mengeluarkan dam, hendaknya teliti dan hati-hati dalam membayar biaya hewan dam agar tidak mudah dipermainkan. Kepada pihak pengelola dam, hendaklah Anda takut kepada Allah semata untuk tidak mempermainkan amanah jama’ah haji hanya karena ingin mengejar keuntungan materi, karena sebesar apapun keuntungan yang akan Anda dapatkan jika hal itu tidak halal, maka cepat atau lambat akan berakibat buruk bagi kehidupan Anda.

Oleh Abdullah Haidir .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar