LUBANG WARAK - Dari Amirul Mukminun Abu Hafsah Umar Bin Al-Khattab Bin Nufail Bin
Abdil Uzza Bin Rayyah Bin Abdillah Bin Razah Bin Adiy Bi Ka’b Bin Luay Bin
Ghalib Al-Quraisiy Al-Adawi Radhiyallahu Anhu, dia berkata:
“Saya mendengar Rasulullah Salallahu’alaihi
Wasallam bersabda, “Amal perbuatan pasti disertai dengan niat, dan setiap orang
akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.
Siapa yang hijrah semata-mata karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya; siapa yang hijrah karena dunia yang akan dia dapatkan, atau hijrah karena seorang perempuan yang akan dia nikahi, maka hijrahnya sesuai dengan tujuannya,”” (Muttafaq Alaih).
Siapa yang hijrah semata-mata karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya; siapa yang hijrah karena dunia yang akan dia dapatkan, atau hijrah karena seorang perempuan yang akan dia nikahi, maka hijrahnya sesuai dengan tujuannya,”” (Muttafaq Alaih).
Penjelasan
Seseorang
seharusnya menanamkan niat dalam hatinya semata-mata karena Allah, dalam setiap
ucapan, amal perbuatan, dan kondisinya. Penulis menyebutkan ayat-ayat al-Quran
yang berkaitan dengan tema ini. Sebagaimana penulis juga menyebutkan
hadist-hadist Nabi yang menyangkut masalah niat. Hadist pertama yang disebutkan
dalam bab ini adalah hadist Umar Bin Khattab, yang mengatakan bahwa dia
mendengar Rasulullah Salallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Amal perbuatan pasti disertai dengan niat, dan
setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.”
Para ulama berbeda
pendapat tentang dua kalimat di atas. Menurut sebagian ulama, dua kalimat
tersebut mempunya satu arti; kalimat kedua sebagai penguat kalimat pertama.
Akan tetapi pendapat tersebut tidak benar, karena pada dasarnya setiap kalimat
mempunya arti tersendiri bukan untuk menguatkan kalimat yang lain. Jika
direnungkan, akan diketahui bahwa ada perbedaan yang cukup besar antara dua
kalimat tersebut; kalimat pertama merupakan sebab, sedangkan kalimat kedua
sebagai akibat.
Dalam kalimat
pertama, Nabi Salallahu’alaihi Wasallam menjelaskan bahwa setiap amal perbuatan
pasti disertai dengan niat. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang yang
mempunyai akal normal dan tidak dalam kondisi terpaksa pasti disertai dengan
niat. Tidak mungkin, orang yang mempunyai akal normal dan tidak dalam kondisi
terpaksa melakukan perbuatan tanpa disertai dengan niat. Sehingga, salah
seorang ulama berkata, “Seandainya Allah
memerintahkan kita untuk melakukan suatu perbuatan tanpa disertai dengan niat,
niscaya kita tidak akan mampu melakukan perintah tersebut.”
Pendapat tersebut
merupakan pendapat yang benar. Sebab, bagaimana mungkin kamu yang mempunyai
akal normal dan tidak dalam kondisi terpaksa melakukan sebuah perbuatan tanpa
disertai niat? Mustahil! Karena suatu perbuatan merupakan manifestasi dari
keinginan dan kemampuan. Keinginan itulah yang disebut dengan niat.
Dengan demikian,
kalimat pertama mempunyai arti: tidak ada
seorang pun yang melakukan sebuah perbuatan kecuali disertai dengan niat. Namun
demikian, niat seseorang beraneka ragam. Antara niat yang satu dengan niat yang
lain jauh berbeda, seperti jarak langit dan bumi.
Sebagian manusia
ada yang menjadikan niatnya berada di atas segala-galanya, dan ada juga yang
menjadikan niatnya di tempat sampah yang paling rendah dan paling hina.
Meski kamu,
misalnya, melihat dua orang melakukan perbuatan yang sama, dalam permulaan,
akhir, bahkan di saat melakukan perbuatan tersebut, dan dalam gerakan dan
diamnya, dalam setiap perbuatan dan perkataannya, tapi diantara keduanya
perbedaan yang sangat jauh, seperti jauhnya jarak antara langit dan bumi, hal
itu karena perbedaan niat kedua orang tersebut. Dengan demikian, pada
prinsipnya: Tidak ada perbuatan yang
tidak disertai dengan niat.
Sabda Rasulullah, “Setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai
dengan niatnya,” bermuara pada kesimpulan: Jika kamu melakukan setiap amal perbuatan syar’i berniat semata-mata
karena Allah dan kampong akhirat, maka kamu akan mendapatkannya.tapi jika kamu
meniatkannya karena dunia, maka kamu bisa mendapatkannya tapi bisa juga tidak.
Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa
menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya (di
dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang-orang yang Kami kehendaki,” (QS
Al-Israa: 18).
Allah TIDAK berfirman,
“Kami segerakan baginya di dunia apa yang
manusia kehendaki,” akan tetapi Allah berfirman, “Apa yang Kami kehendaki – bukan yang manusia kehendaki – kepada orang
yang Kami kehendaki – bukan kepada setiap manusia.” Allah membatasi apa
yang disegerakan dan untuk siapa Dia menyegerakannya.
Dengan demikian,
ada manusia yang mendapatkan semua yang dia inginkan di dunia, ada yang
mendapatkan sebagian yang dia inginkan, dan ada yang tidak mendapatkannya sama
sekali dari apa yang dia inginkan, sampai kapan pun.
Itulah pengertian
firman Allah, “Maka Kami segerakan baginya (di dunia) ini apa yang Kami kehendaki
bagi orang yang Kami kehendaki,” (QS Al-Israa: 18).
Sedangkan firman
Allah,
“Dan
barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha kea rah itu dengan
sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya
dibalas dengan baik,” (QS Al-Israa: 19), menegaskan bahwa yang bisa mendapatkan balasan yang baik dari Allah
hanyalah orang meniatkan amal perbuatannya semata-mata untuk wajah Allah dan
kampong akhirat.
Sabda Nabi, “Amal perbuatan pasti disertai dengan niat…”
sebagai barometer nilai setiap amal perbuatan. Akan tetapi, barometer dari sisi
batin.
Sedangkan sabda
Rasulullah Salallahu’alaihi Wasallam dalam hadist yang diriwayatkan oleh
Asy-Syaikhbaani, dari Aisyah Radhiyallahu Anha,
“Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan yang
tidak sesuai dengan tuntunan kami, maka amal perbuatan tersebut ditolak,” (HR
Muslim 2985) sebagai amal perbuatan dari sisi dzhahir.
Oleh sebab itu,
ulama mensinyalir, bahwa dua hadist di atas mengusung semua ajaran Islam.
Kemudian Rasulullah Salallahu’alaihi Wasallam memberikan sebuah contoh, sebagai
bentuk implementasi dari hadist tersebut, beliau bersabda, “Siapa yang hijrah semata-mata karena Allah
dan Rasul-Nya maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya; siapa yang hijrah
karena dunia yang akan dia dapatkan, atau hijrahnya karena seorang perempuan
yang akan dia nikahi, maka hijrahnya sesuai dengan tujuannya.”
Yang dimaksud
dengan hijrah adalah perpindahan seseorang dari wilayah orang-orang kafir ke
wilayah orang-orang Islam. Seperti orang yang berdomisili di Amerika – sedangkan
Amerika termasuk Negara kafir – lalu dia masuk Islam. Akan tetapi dia tidak
memungkinkan untuk menampakkan keislamannya kemudian dia memutuskan untuk
pindah ke Negara Islam.
Apabila manusia
melakukan hijrah, sedangkan niat mereka berbeda-beda, ada yang hijrah
semata-mata karena Allah dan Rasul-Nya, yaitu karena semata-mata karena syariat
Allah yang disampaikan melalui Nabi
Muhammad Salallahu’alaihi Wasallam, mereka inilah yang mendapat kebaikan, dan
meraih tujuannya. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda, “Maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya.” Artinya, dia
mendapatkan apa yang dia niatkan.
Kedua, orang yang hijrah karena dunia yang akan dia dapatkan. Seperti ada
seseorang yang gemar mengumpulkan harta, tiba-tiba mendengar bahwa di negara
Islam terdapat daerah yang subur dan makmur serta mudah untuk mendapatkan
harta, lalu dia pindah dari negara kafir ke negara Islam, bukan semata-mata
ingin konsisten dan mempedulikan agamanya, maka tujuan hijrahnya hanyalah
karena harta semata.
Ketiga, orang yang hijrah dari negara kafir ke negara Islam karena ingin
menikahi seorang perempuan. Dikatakan kepadanya, “Kami tidak akan menikahimu, kecuali di negara Islam dan kamu tidak
boleh membawa pergi perempuan tersebut ke negara kafir.” Kemudian dia
memutuskan pindah ke negara Islam karena ingin menikahi seorang perempuan.
Orang yang hijrah
karena ingin mendapatkan harta dan perempuan, maka dia tidak berhijrah karena
Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda, “Maka hijrahnya sesuai dengan tujuannya.”
Rasulullah
bersabda, “Maka, hijrahnya sesuai dengan
tujuannya.” Beliau TIDAK bersabda, “Maka
hijrahnya karena dunia yang akan dia dapatkan atau karena seorang perempuan
yang akan dinikahi.” Kenapa?
Dikatakan, karena
pertimbangan efisiensi kata.
Ada juga yang
mengatakan, sebagai bentuk penghinaan serta menghindari untuk tidak
menyebutkannya karena niat yang demikian itu merupakan niat yang hina dina.
Bagaimanapun, orang
yang hijrah karena tujuan dunia atau perempuan, tidak diragukan lagi, niat orang
tersebut adalah niat yang rendah dan hina dina, berbeda dengan niat hijrah yang
pertama, yakni hijrah semata-mata karena Allah dan Rasul-Nya.
Macam-Macam Hijrah
A. Hijrah dari Sebuah Tempat Ke Tempat Yang
Lain
Hijrah dari sebuah
tempat ke tempat yang lain yaitu seseorang yang hijrah dari tempat yang penuh
dengan perbuatan maksiat dan perbuatan fasik, dan barangkali hijrah dari negara
kafir ke negara Islam.
Hijrah yang paling
utama adalah hijrah dari negara kafir ke negara Islam. Menurut ulama, hijrah dari
negara kafir ke negara Islam wajib bagi orang yang tidak bisa menampakkan
keislamannya. Akan tetapi bagi orang yang mampu menampakkan identitas
keislamannya dan tidak ada yang melarang ketika menjalankan syiar-syiar Islam,
maka tidak wajib hijrah, tapi sunnah.
Berdasarkan hal
tersebut, maka bepergian ke negara kafir lebih berat daripada berdomisili di
negara tersebut. Apabila seseorang yang berdomisili di negara kafir karena di
negara tersebut terdapat hal-hal yang dapat membahayakan uang dan menguatkan
perekonomian orang kafir. Sementara kita diperintahkan untuk membenci orang
kafir dengan segenap kemampuan kita, sebagaimana firman Allah:
“Wahai
orang-orang yang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu,
dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu, dan ketahuilah bahwa Allah
bersama orang yang bertakwa,” (QS At-taubah: 123).
Allah Ta’ala juga
berfirman:
“Dan
tidak pula mengijak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir,
dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali semua itu dituliskan
bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan. Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan
pahala orang-orang yang berbuat baik,” (QS At-Taubah: 120).
Setiap orang kafir,
baik dari kalangan Nasrani, Yahudi, atau lainnya, adalah musuh Allah, musuh
kitab dan Rasul-Nya, juga musuh seluruh kaum muslimin. Meski dia ingin
menampakkan diri seperti apa, dia tetaplah musuh. Seorang Muslim tidak boleh
bepergian ke negara kafir kecuali memenuhi tiga syarat:
1. Dia mempunyai
ilmu yang bisa digunakan untuk menolak perkara-perkara syubhat. Karena
orang-orang kafir selalu memasukkan kerancuan kepada Muslimin dalam agama,
rasul, kitab, dan moral mereka. Mereka memasukkan kerancuan dalam setiap hal,
agar seseorang tetap merasa ragu dan bimbang. Sudah dimaklumi, apabila
seseorang ragu dalam hal yang seharusnya dia yakini, maka dia tidak akan
melaksanakan suatu kewajiban. Iman kepada Allah, para malaikat, rasul, kitab,
hari akhir dan qadar yang baik atau yang buruk, harus disertai dengan
keyakinan. Apabila seseorang mempunya rasaragu dalam salah satu rukun iman
tersebut, maka dia termasuk orang kafir.
Orang kafir
menebarkan keraguan kepada kaum muslimin, sehingga sebagian pemimpin mereka
mengatakan, “Janganlah kalian berusaha untuk mengeluarkan kaum Muslimin dari
dari agamanya lalu masuk ke agama Nasrani, tetapi kalian cukup membuat dia ragu
dalam agamanya, karena jika kalian membuatnya ragu dalam agamanya, sesungguhnya
kalian telah merampasnya dari agamanya dan itu sudah cukup.”
Jika kalian
berhasil, berarti kalian sudah mengeluarkan dia dari sangkar yang dipenuhi
keagungan, kemenangan, dan kemuliaan. Jika kalian berusaha memasukkan dia ke
dalam agama Nasrani yang terbangun di atas kesesatan dan kedobohan, kalian
tidak akan berhasil. Karena orang-orang Nasrani adalah orang-orang yang sesat,
sebagaimana disebutkan dalam hadist Rasulullah Salallahu’alaihi Wasallam, meski
demikian, agama Kristen merupakan agama yang besar pada masanya, sebelum
dihapus dengan risalah Nabi Muhammad Salallahu’alaihi Wasallam.
2. Mempunyai agama
yang dapat memproteksi dirinya dari gejolak syahwatnya. Karena orang yang tidak
beragama, apabila pergi ke negara kafir, dia akan tenggelam di dalamnya, karena
di negara itu dia melihat kenikmatan dunia, seperti minuman keras, perbuatan
zina, homoseksual, dan lain sebagainya.
3. Karena ada
kepentingan yang mendesak. Seperti orang yang sakit yang perlu berobat ke
negara kafir, atau seseorang yang ingin mendalami sebuah disiplin ilmu yang
tidak bisa didapatkan kecali di negara kafir atau seseorang yang hendak
berdagang, tetapi setelah aktivitas dagangnya selesai, dia kembali lagi ke
tanah airnya. Yang penting harus ada kepentingan yang mendesak.
Oleh karena itu
menurut hemat saya, orang-orang yang pergi ke negara kafir untuk berwisata saja,
maka mereka berdosa. Sementara, uang yang mereka belanjakan selama perjalanan
tersebut hukumnya adalah haram dan termasuk emnghambur-hamburkan harta. Mereka
akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat, pada saat tidak ada lagi
tempat untuk bersenang-senang dan rileks, saat dimana mereka hanya mendapatkan
balasan amal perbuatan mereka, karena mereka telah menyia-nyiakan waktu,
menghamburkan harta, dan merusak akhlak mereka. Barangkali mereka juga membawa
serta keluarga mereka.
Sungguh mengherankan,
mereka pergi ke negara kafir padahal di negara itu tidan terdengar kumandang
adzan dan suara orang yang berdzikir. Yang terdengar hanyalah terompet
orang-orang Yahudi atau lonceng orang-orang Nasrani. Kemudian mereka menetap di
negara itu selama beberapa waktu, bersama keluarga, istri, dan anak-anak
mereka. Sehingga terjadilah hal-hal yang dapat membahayakan terhadap agama dan
moral mereka. Semoga kita diselematkan dari musibah seperti ini.
Hal itu merupakan
cobaan, yang sebab itu Allah akan menurunkan bencana kepada kita. Karena,
setiap bencana yang menimpa kita, seperti yang sedang kita alami saat itu,
disebabkan oleh perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
“Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalah-kesalahanmu),” (QS Asy-Syuura: 30).
Kita lalai di
negara kita sendiri. Seakan-akan Allah membiarkan kita. Seolah-olah Allah tidak
mengetahui aoa yang kita lakukan. Seolah-olah Dia tidak menghukum orang yang
berbuat dzhalim, sehingga saat dia berbuat, Allah tidak memperdulikannya.
Manusia bisa
menyaksikan langsung bencana-bencana yang diturunkan oleh Allah ke dunia ini,
akan tetapi hati mereka mengeras. Kami berlindung kepada Allah dari sikap yang
demikian.
Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Dan
sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak
tunduk kepada Tuhan mereka, dan juga tidak memohon kepada-Nya dengan
merendahkan diri,” (QS Al-Mu’minuun: 76).
Mereka tertimpa
azab, meskipun demikian mereka tidak tunduk kepada Allah, dan tidak memohon
kepada-Nya dengan merendahkan diri. Bahkan, hati mereka menjadi keras dan mati,
sehingga peristiwa-peristiwa tersebut terjadi begitu saja di hati mereka.
Kami berlindung
kepada Allah dari hati yang mati dank eras. Apabila manusia mempunya akal yang
sehat, bersih dari perbuatan maksiat, dan mempunyai hati yang hidup, maka kita
tidak akan mengalami kondisi seperti sekarang ini. Padahal, kita mempunya
asumsi bahwa kita dalam kondisi peperangan yang menghancurkan dan membinasakan,
baik perang urat syarat maupun perang otot, dan lain sebagainya. Namun
demikian, kamu tidak akan bisa menemukan seseorang yang bisa menggerakkan
sesuatu yang diam kecuali atas kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dalam kondisi yang
genting seperti ini, manusia berbondong-bondong berekreasi ke negara kafir,
negara fasik, dan negara yang penuh dengan hiburan. Kami berlindung kepada
Allah dari perbuatan seperti itu.
Saya katakana
sekali lagi, hijrah wajib hukumnya bagi orang yang berdomisili di negara kafir,
jika tidak bebas menjalankan kewajiban agamanya. Sementara bepergian ke negara
kafir, untuk tujuan dakwah hukumnya boleh, seandainya dapat menimbulkan
implikasi positif dan pengaruh yang baik, karena perjalanan seperti itu
merupakan perjalanan yang mengandung maslahat.
Banyak penduduk
negara kafir yang buta akan Islam, mereka tidak mengetahui sedikitpun tentang
Islam, bahkan mereka disesatkan dengan sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa
Islam adalah agama yang biadab dan ganas. Apalagi jika orang-orang barat
mengetahui beberapa kejadian yang dilakukan oleh beberapa orang Islam.
Orang-orang berkata, “Mereka adalah orang-orang Islam. Dimanakan agama Islam?
Sungguh biadab!” Sehingga mereka akan menjauhi Islam, yang disebabkan oleh
perbuatan kaum Muslimin sendiri. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita
semua.
B. Hijrah Satu Perbuatan Ke Perbuatan Yang Lain
Yang dimaksud
dengan hijrah dari satu perbuatan ke perbuatan yang lain adalah seseorang yang
meninggalkan perbuatan yang dilarang Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seperti
perbuatan maksiat dan fasik. Sebagaimana sabda Rasulullah Salallahu’alaihi
Wasallam,
“Muslim yang sejati adalah seorang Muslim yang
bisa membuat orang-orang Islam lainnya selamat dari gangguan lisan dan
tangannya. Sedangkan orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan perbuatan
yang dilarang Allah,” (HR Bukhari, 10/6484).
Oleh karena itu,
tinggalkanlah semua yang diharamkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, baik yang
berkaitan dengan hak-hak Allah atau hak-hak hamba-Nya, seperti meninggalkan
makian, ejekan, pembunuhan, penipuan, memakan harta dengan cara yang bathil,
durhaka kepada kedua orangtua, memutuskan tali persaudaraan dan semua hal-hal
yang diharamkan oleh Allah, meskipun hatimu merayu dan mengajakmu untuk
melakukannya, maka ingatkanlah hawa nafsmu bahwa Allah telah mengharamkan semua
perbuatan tersebut sehingga kami bisa meninggalkan dan menjauhinya.
C. Hijrah Dari Pelaku Maksiat
Hijrah dari pelaku
maksiat yaitu hijrah atau meninggalkan orang yang melakukan perbuatan maksiat.
Adakalanya pelakukejahatan wajib ditinggalkan. Menurut ulama, jika ada orang
yang melakukan maksia dengan terang-terangan, dan tidak mempedulikan teguran
dari orang lain, maka disyariatkan untuk meninggalkan orang tersebut, apabila
hal ini dapat menimbulkan faedah dan maslahat. Misalnya, dengan ditinggalkan,
dia mau menyadari perbuatannya dan bertobat dari perbuatan maksia yang dia
lakukan selama ini.
Seperti ada
seseorang yang terkenal suka melakukan penipuan dalam jual-beli, lalu
orang-orang menjauhinya. Ada juga orang yang suka berbuat riba, lalu
orang-orang menjauhinya, tidak mengucapkan salam kepadanya, dan tidak
mengajaknya bicara. Setelah mereka menjauhinya, dia merasa malu, lalu bertobat
dan menyesali perbuatannya.
Tapi jika perbuatan
tersebut tidak berfaedah, maka tidak boleh meninggalkannya. Lain halnya jika menghadapi
orang kafir, karena orang kafir yang murtad harus ditinggalkan bagaimanapun
keadaannya. Jika meninggalkan orang yang berbuat maksiat tetapi tidak bisa
membuat dia berubah, maka tidak boleh meninggalkannya, karena Rasulullah
Salallahu’alaihi Wasallam bersabda,
“Seorang Muslimtidak boleh mendiamkan
saudaranya lebih dari tiga hari, ketika keduanya bertemu mereka saling
memalingkan muka. Yang terbaik di antara keduanya adalah yang mengucapkan salam
terlebih dahulu,” (HR Bukhari, 6077).
Sebagaimana sudah
dimaklumi, bahwa perbuata-perbuatan maksiat, selain perbuatan kufur, menurut
Ahlussunah Wal Jamaah tidak membuat pelakunya keluar dari Islam.
Yang menjadi
barometer adalah: Apakah tindakan meninggalkan orang yang melakukan maksiat
bisa menimbulkan maslahat atau tidak? Sekitanya menimbulkan masalahat, maka
boleh meninggalkannya, berlandaskan pada kisah Ka’ab Bin Malik, Hilal Bin
Umayyah, dan Mirarah Bin Ar-Rabi’, dimana mereka tidak ikut berperang pada
perang Tabuk. Rasulullah menghindari mereka dan memerintahkan kaum muslimin
untuk menghindari tiga orang tersebut. Mereka menyadari kesalahannya, mereka
segera bermunajat kepada Allah karena dunia yang begitu luas terasa begitu
sempit bagi mereka sehingga hati mereka tertekan dan mereka kemudian mengadu kepada
Allah. Mereka akhirnya bertaubat kepada Alllah dan Allah menerima taubat
mereka. Wallahu’alam bish shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar